Di
sebuah tepian ladang, seorang anak memperhatikan ayahnya yang terus saja
bekerja. Sang ayah terlihat menggemburkan tanah dengan cangkul, membaurkan
pupuk di sekitar tanaman, dan membabat tumbuhan liar di sekitar ladang.
Sesekali, sang ayah harus mencabut ilalang. Anak itu terus memperhatikan dengan
heran.
“Kenapa
ayah melakukan itu? Bukankah ilalang itu masih terlalu kecil untuk dicabut?”
teriak si anak sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia membawakan air yang baru
saja ia tuang ke sebuah gelas kayu. Sambil tangan kiri menghapus peluh, tangan
kanan ayah anak itu meraih gelas dari tangan kecil anaknya.
“Anakku,
inilah pekerjaan petani. Kelak kamu akan tahu,” jawab sang ayah singkat.
Setelah minum, petani itu memanggul cangkul di dekatnya. “Hari sudah sore! Mari
kita pulang, Nak!” ucap sang ayah sambil meraih pundak anak lelakinya itu.
Sepulang
dari ladang, petani itu sakit. Hingga beberapa hari, ia dan anaknya tidak bisa
ke ladang yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki, naik dan turun. Petani
itu tampak gelisah. Ia seperti ingin memaksakan diri berangkat ke ladang.
“Ayah
kenapa? Bukankah waktu itu ladangnya sudah ayah bersihkan, dipupuk, dan
dipagar,” suara anak itu sambil membantu ayahnya bangun dari tempat tidur. “Itu
belum cukup, Nak. Kelak kamu akan tahu!” ucap si petani sambil tertatih-tatih
keluar rumah. Ia mengajak anaknya pergi ke ladang.
Setibanya
di ladang, anak itu terperangah. Ia seperti tidak percaya apa yang dilihat.
Hampir seluruh ladang ditutupi ilalang. Cabai dan tomat yang tumbuh mulai
membusuk. Daun-daunnya pun dihinggapi ulat.
“Anakku,
inilah yang ayah maksud tugas petani. Kini kamu paham, kenapa ayah gelisah.
Karena seorang petani tidak cukup hanya menanam, menebar pupuk, dan memagar
tanamannya. Tapi, ia juga harus merawat. Tiap hari, tiap saat!” jelas sang ayah
sambil menatap sang anak yang masih terkesima dengan ilalang di sekitar ladang
ayahnya.
**
Mereka
yang terpilih Allah swt. sebagai pegiat dakwah, sadar betul kalau tugasnya
begitu penting, mulia, dan sekaligus berat. Berat karena tugas itu tidak cukup
sekadar menanam kesadaran, menebar sarana dakwah, dan memagari ladang dakwah
dari terjangan angin dan hewan perusak. Lebih dari itu, ia harus merawat.
Seperti
halnya ladang tanaman, ladang dakwah bukan benda mati yang akan lurus-lurus
saja kalau ditinggal pergi. Tanahnya hidup. Udara di sekitar pun dinamis. Yang
akan tumbuh bukan saja tanaman yang diinginkan, tanaman liar seperti ilalang
pun akan tumbuh subur merebut energi kesuburan ladang. Belum lagi telur-telur
hama yang hinggap ke daun tanaman setelah berterbangan digiring angin.
Pegiat
dakwah persis seperti seorang petani terhadap tanamannya. Ia sebenarnya sedang
berlomba dengan ilalang dan hama. Kalau ia tidak sempat merawat, ilalang dan
hama yang akan ambil alih. Kelak, jangan kecewa kalau buah-buah tanaman yang
akan dipetik sudah lebih dulu membusuk. (mnuh)
0 komentar:
Posting Komentar