Di
sebuah tepian hutan, seekor burung puyuh muda sedang termenung. Tiap hari, ia
menghabiskan siangnya untuk cuma tergolek di atas bayangan dahan. Ia kerap
membandingkan dirinya dengan siapa pun yang tertangkap lewat penglihatannya.
Suatu
kali, serombongan anak itik berlalu bersama induknya. Mereka begitu asyik
menikmati pagi yang cerah. Satu per satu, rombongan keluarga itik itu
menceburkan diri ke telaga. Mulai dari sang induk, hingga semua anak itik
tampak berenang penuh riang.
"Andai
aku seperti itik...," ucap si puyuh miris. Itulah komentar pertama dari
tangkapan penglihatannya. Sontak, ketidakpuasan pun menyeruak. "Enak
sekali jadi itik. Bisa berenang. Bisa mencari makan sambil bersantai!"
keluh kesah puyuh pun tak lagi terbendung. Ia sesali keadaan dirinya. Jangankan
berenang, tersentuh air pun tubuhnya bisa menggigil.
Tak
jauh dari telaga yang rimbun, seekor burung kutilang tiba-tiba hinggap di
sebuah dahan. Ia seperti memakan sesuatu. Setelah itu, sang kutilang pun
terbang tinggi ke udara.
Puyuh
muda lagi-lagi berandai. "Andai aku bisa seperti kutilang!" keluhnya
pelan. "Enaknya bisa melihat bumi dari atas sana. Bisa menemukan makanan
sambil menikmati indahnya udara lepas," ucap si puyuh sambil tetap tak
beranjak dari duduknya. Ia pun melirik sayap kecilnya. Sayap itu ia gerakkan
sebentar, dan si puyuh duduk lagi. "Ah, tak mungkin aku bisa
terbang!"
Masih
dalam posisi agak berbaring, si puyuh mendongak. Ia seperti menatap langit.
"Tuhan, kenapa kau ciptakan aku tak berdaya seperti ini! Tak mampu
berenang. Tak bisa terbang!" ucap sang puyuh mengungkapkan isi hatinya.
Entah
datang dari mana, tiba-tiba pemandangan sekitar telaga penuh dengan asap hitam.
Udara menjadi begitu panas. Pengap. "Api! Api! Hutan terbakar!"
teriak hewan-hewan bersahutan. Tanpa aba-aba, semua penghuni telaga
menyelamatkan diri. Ada yang berenang. Ada yang terbang. Dan ada yang berlari
kencang. Kencang sekali.
Menariknya,
dari sekian hewan yang mampu berlari kencang justru si puyuhlah yang di barisan
depan. Langkah cepatnya seperti tak menyentuh bumi. Ia berlari seperti terbang.
Saat itulah, ia tersadar. "Ah, ternyata aku punya kelebihan!" ucap si
puyuh menemukan kebanggaan.
**
Hidup
dalam kerasnya belantara dunia kadang membuat seseorang tak ubahnya seperti
burung puyuh. Merasa diri tak berdaya. Tak punya sayap untuk terbang meraih
cita-cita. Tak punya sirip untuk berenang melawan badai kehidupan. Tak punya
taring untuk melindungi diri dari para pesaing.
Kalau
saja ia mau menggali. Karena pada kaki kecil potensi diri, boleh jadi, di
situlah ada kekuatan besar. Sekali lagi, gali dan kembangkan. Perlihatkanlah
kegesitan kaki potensi yang teranggap kecil itu. Dan jangan pernah menunggu
hingga 'kebakaran' datang. Karena bisa jadi, api bisa lebih dulu sampai.
0 komentar:
Posting Komentar