Di
sebuah desa, murid-murid madrasah tampak berbaris membentuk regu barisan. Tiap
regu memegang satu bendera yang terikat pada batang bambu berukuran satu meter.
Rupanya, mereka sedang mengikuti lomba gerak jalan keliling desa.
Sebelum
berangkat, seorang guru memberikan arahan. “Anak-anakku. Perhatikanlah
benderamu. Jadikan dia sebagai dirimu sendiri!” ujar sang guru singkat. Dan,
berangkatlah murid-murid tsanawiyah itu begitu semangat. Mereka bergerak begitu
rapi sambil tetap mengikuti arah bendera di barisan depan.
Jarak
tempuh lomba itu tergolong jauh buat ukuran anak kota. Mereka melewati
kampung-kampung, jalan raya antar kota, dan berputar balik menuju tempat
semula. Setelah dua jam berjalan, barisan tidak lagi seperti ketika berangkat.
Ada
yang akhirnya berbentuk segitiga, lingkaran, bahkan tidak berbentuk sesuatu
yang jelas alias kocar-kacir. Hanya satu hal yang masih tetap seperti semula:
posisi bendera yang terus berkibar. Mungkin, sebagian anak-anak menganggap
kalau pesan guru sebagai kata kunci. Yang penting bendera.
Setelah
semua regu tiba di garis finis, pemenang lomba pun diumumkan. “Pemenangnya regu
padi!” ucap sang guru disambut tepuk tangan.
Beberapa
murid mengangkat tangan. “Maaf, Pak. Barisan regu padi memang rapi. Tapi,
mereka beberapa kali tidak mengangkat gagang bendera. Sementara kami terus
mengangkat bendera ke udara. Bukankah bapak mengatakan yang penting bendera!”
suara protes dari seorang murid.
“Anakku,”
ucap sang guru begitu wibawa. “Kamu salah paham soal bendera. Bendera bukan
sekadar selembar kain yang terikat di tiang bambu. Bendera itu adalah citra.
Kamu sekalian adalah bendera yang berjalan!” jelas Pak Guru begitu gamblang.
Semua murid-murid pun terdiam, mencoba memahami ucapan sang guru.
**
Ketika seseorang terikat dengan sesuatu di luar dirinya: bisa agama, organisasi, korps; ia sebenarnya sedang menjadi bendera bagi agama, organisasi, atau korpsnya. Baik buruk bendera pada akhirnya sangat ditentukan dari citra yang ia perlihatkan.
**
Ketika seseorang terikat dengan sesuatu di luar dirinya: bisa agama, organisasi, korps; ia sebenarnya sedang menjadi bendera bagi agama, organisasi, atau korpsnya. Baik buruk bendera pada akhirnya sangat ditentukan dari citra yang ia perlihatkan.
Seperti
itulah yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk menjelekkan citra Islam yang
sebenarnya bersih dan indah. Cukup dengan menyorot keterbelakangan umat Islam,
konflik yang tidak pernah habis, dan terakhir isu terorisme; Islam yang indah
pun tercitrakan buruk. Islam menjadi terbenderakan oleh keadaan umatnya.
Kita
adalah bendera yang berjalan. Semakin besar dan jauh cakupan sepak terjang
kita, semakin banyak yang menilai bendera kita.
Jadi,
bukan agama, organisasi, atau korpsnya yang berubah menjadi buruk. Perilaku dan
sepak terjang kitalah yang akhirnya mencitrakan seperti apa orang akan menilai
bendera kita.
0 komentar:
Posting Komentar