Di
pinggiran sebuah hutan, satu keluarga kelinci mulai beranjak tidur. Malam
membatasi gerak anak-anak mereka hanya di sekitar lubang yang menjadi rumah
mereka. Walau tak berpintu, anak-anak kelinci seperti melihat dinding tebal
antara rumah dan dunia luar.
Seekor
anak kelinci bertingkah lain dari yang lain. Sesekali, ia menjulurkan kepalanya
keluar lubang. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang dianggapnya
baru. Tapi, tindakan itu dicegah keras induknya. “Jangan coba-coba lakukan itu
lagi, Nak!” teriak sang induk marah.
“Kenapa,
Bu?” tanya anak kelinci heran. “Kenapa tak satu kelinci pun yang berani keluar
lubang di saat malam?”
Induk
kelinci menatap anaknya tajam. “Anakku,” ucapnya kemudian. “Malam sangat
berbahaya untuk hewan seperti kita. Ketika malam datang, lubang menjadi tempat
yang paling aman buat kita,” jelas sang induk kemudian.
“Bukankah
tanah di sekitar sini hanya dihuni para kelinci, Bu?” sergah si anak menawarkan
sudut pandang lain.
Induknya
tersenyum. “Anakku, justru karena malamlah, kita tidak bisa membedakan mana
teman dan mana pemangsa. Sabarlah untuk bergerak sekadarnya, hingga siang
benar-benar datang!” ucap sang induk kelinci begitu meyakinkan.
**
**
Malam
dan siang memang bukan sekadar pergerakan sisi bumi yang menjauh dan menghadap
ke arah matahari. Ada makna lain dari yang namanya malam. Sesuatu yang
menggambarkan suasana gelap, tertutup, curiga, dan ketakutan.
Dalam
diri manusia pun punya dua suasana itu: malam dan siang. Malam menunjukkan
suasana hati yang picik dan dangkal, dan siang menggambarkan kelapangan dada.
Pada hati yang terselimuti malam, orang menjadi mudah curiga, senang dengan
yang serba tertutup, sulit memaafkan, bahkan berkecenderungan menjadi pemangsa.
Orang
bijak mengatakan, siang adalah di mana kita mampu membedakan antara pohon
nangka dengan pohon cempedak. Selama kita tidak bisa menangkap kearifan diri
kita pada wajah orang yang kita temui, jam berapa pun itu, hal itu menandakan
kalau hari masih malam.
0 komentar:
Posting Komentar