Di
sebuah tempat nan jauh dari kota, tampak seorang pemuda bergegas menuju surau
kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia seperti mencari
sesuatu di surau itu.
"Assalamu'alaikum,
Guru!" ucapnya ke seorang tua yang terlihat sibuk menyapu ruangan surau.
Spontan, pak tua itu menghentikan sibuknya. Ia menoleh ke si pemuda dan
senyumnya pun mengembang. "Wa'alaikumussalam. Anakku. Mari masuk!"
ucapnya sambil meletakkan sapu di sudut ruangan. Setelah itu, ia dan sang tamu
pun duduk bersila.
"Ada
apa, anakku?" ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. "Guru.
Aku diterima kerja di kota!" ungkap sang pemuda kemudian.
"Syukurlah," timpal sang kakek bahagia. "Guru, kalau tidak
keberatan, berikan aku petuah agar bisa berhasil!" ucap sang pemuda sambil
menunduk. Ia pun menanti ucapan sang kakek di hadapannya.
"Anakku.
Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian kalimat singkat
meluncur tenang dari mulut si kakek. Sang pemuda belum bereaksi. Ia seperti
berpikir keras memaknai kata-kata gurunya. Tapi, tak berhasil. "Maksud,
Guru?" ucapnya kemudian.
"Anakku.
Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang
tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya; air
kian bersemangat untuk bergerak ke bawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa
mengaliri dunia di bawahnya," jelas sang kakek tenang. "Lalu dengan
awan, Guru?" tanya si pemuda penasaran.
"Jangan
sekali-kali seperti awan, anakku. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang
rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia
tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi," terang sang kakek
begitu bijak. "Tapi anakku," tambahnya kemudian. "Ketinggian
awan cuma jadi bahan permainan angin." Dan si pemuda pun tampak mengangguk
pelan.
**
Seribu satu harap kerap dialamatkan buat para pegiat kebaikan. Mereka yang berharap adalah kaum lemah yang butuh perlindungan, kaum miskin yang menginginkan bantuan, dan masyarakat awam yang rindu bimbingan.
**
Seribu satu harap kerap dialamatkan buat para pegiat kebaikan. Mereka yang berharap adalah kaum lemah yang butuh perlindungan, kaum miskin yang menginginkan bantuan, dan masyarakat awam yang rindu bimbingan.
Rangkaian
harap itu berujung pada satu titik: agar mutu baik para pegiat kebaikan tidak
cuma berhenti pada diri si pelaku. Tapi, bisa mengalir ke kaum bawah: membasahi
cekungan harap yang kian mengering, dan menghidupkan benih-benih hijau yang
mulai menguning.
Sayangnya,
tidak semua mutu pegiat kebaikan selalu seperti air yang mengalir dan terus
mengalir menyegarkan kehidupan di bawahnya. Karena ada sebagian mereka yang
justru sebaliknya, seperti awan yang kian menjauh meninggalkan bumi. Seolah ada
yang ingin mereka ungkapkan: selamat tinggal dunia bawah; maaf, kami sedang
asyik bercengkrama bersama angin.
0 komentar:
Posting Komentar